Archive for Mei 2013

DIKRITIK …SIAPA TAKUT?



Dalam hukum causalitas kita mengenal adanya sebab akibat. Artinya segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini pastilah ada penyebabnya, baik itu yang bersifat fisik maupun non-fisik. Contoh konkretnya adalah, ada bumi karena diciptakan oleh Tuhan ( secara hukum keTuhanan), adanya Tuhan karena kemampuan otak kita berfikir dan akhirnya mengakui keberadaan-Nya. ( sebuah dasar pemikiran timbulnya KRITIKAN )


            Okey,,, kini kita memasuki dunia intelektual yang sarat dengan diskusi, opini, berfikir dan yang terpenting adalah dunia yang dipenuhi dengan segala keanekaragaman karakter dan kemampuan berargumentasi. Semua dinamika yang ada di dalam dunia intelektual tersebut akhirnya bersetubuh dan akhirnya melahirkan anak yang namanya KRITIS.

            KRITIS adalah sebuah kemampuan, kepekaan berfikir, mengkaji dan akhirnya menyikapi sebuah kondisi baik itu berupa sikap, opini (pendapat ) maupun cara berfikir seseorang. Dan segala usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk menyikapi sistem kerja atau kinerja seseorang baik disampaikan melalui sebuah opini ( tulisan berupa sindiran atau langsung ), bantahan, argumentasi maupun aksi fiSIk disebut dengan mengKRITIK.

            Nah,,, disini akhirnya kita akan setuju bahwa sikap KRITIS yang dituangkan dalam sebuah KRITIKAN adalah salah satu contoh HUKUM CAUSALITAS. Suatu KRITIKAN yang didasari dengan sikap KRITIS ( mempelajari dan mengkaji ) adalah sikap INTELEKTUAL, tetapi apabila sikap KRITIS itu lahir dari sebuah sikap EGOISME maka yang dilahirkan adalah sebuah KEBODOHAN.

            Sebagai seorang INTELEKTUAL, kita tidak akan mampu lari dari dunia INTELEKTUAL itu sendiri yaitu sikap KRITIS ( embrio dari kritik mengkritik ). Kini pertanyaannya adalah apakah setiap saat kita harus KRITIS ? jawabannya adalah YA ! tapi tidak semua harus dituangkan dalam sebuah KRITIKAN. KRITIKAN akan lahir apabila telah terjadi persetubuhan antara ILMU, LOGIKA DAN KAJIAN yang senantiasa diselimuti oleh TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL.

            TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL adalah dasar dari sikap INTELEKTUAL , bagaimana sikap atau karakter seorang intelek ketika MENGKRITIK ? jawabnya adalah TANGGUNG JAWAB. TANGGUNG JAWAB kepada ILMU, LOGIKA dan terlebih dahulu dilalui dengan sebuah KAJIAN. Begitu juga dengan yang diKRITIK, bagaimana sikap seorang intelek ketika diKRITIK ? jawabnya adalah TANGGUNG JAWAB. ARTINYA tanggung jawab secara keILMUAN, logika dan kajian.

            Jadi,,,,,,,,,,,KESIMPULANNYA adalah ; tidak ada yang SALAH dengan KRITIKAN dan KEKRITISAN.
            KRITIKAN ,,,??? SIAPA TAKUT  !!!. yang terpenting adalah seorang intelektual ketika akan MENGKRITIK atau sedang DIKRITIK haruslah TANGGUNG JAWAB, ini artinya tidaklah sebuah KRITIKAN namanya jika tidak didasari dengan ILMU, LOGIKA DAN KAJIAN.

didedikasikan untuk RELAWAN PMI oleh DM Edi S (Bali, 31/5/5)

Posted in , , , | Leave a comment

Menggagas Jurnalisme Bencana


Dari liputan rekan handoyo/rizqi/dhea/frida


Ahmad Arif dalam bukunya berjudul Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) menuliskan berondongan pertanyaan  disampaikan seorang reporter televisi kepada seorang bapak yang putrinya terjebak reruntuhan sekolah akibat gempa di Sumatra Barat, akhir September 2009 lalu.
Selanjutnya, tiga pertanyaan ini kembali berulang kali ditanyakan oleh para reporter stasiun televisi yang bertugas di lokasi bencana. Dalam situasi ini para korban yang sedang bersedih, dipaksa berhadapan dengan berbagai pertanyaan tidak berempati. Berdasar atas hal ini, agaknya jurnalisme dalam kondisi bencana memang perlu mendapat perhatian lebih.
Memang, jurnalisme telah menjadi bagian penting dalam berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Sayangnya belakangan ini praktik jurnalisme bukan hanya membawa kemanfaatan bagi publik dalam menghadapi bencana alam. Beberapa informasi tidak akurat bahkan salah tetang bencana dengan mudahnya disajikan sehingga menimbulkan kepanikan korban. 

Sebagai contoh, dalam kasus erupsi Gunung Merapi, kepanikan sempat terjadi setelah warga mendapatkan informasi dari televisi tentang adanya guguran awan panas atau yang biasa disebut sebagai wedus gembel. 
Padahal apa yang dimaksud dengan awan panas dalam pemberitaan pada kenyataannya berupa hujan debu vulkanik. Menurut Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom) yang sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Setio Budi HH MSi, dalam situasi krisis atau bencana aspek komunikasi menjadi hal sangat penting.
Hal ini dikarenakan dalam situasi genting kondisi psikologis seseorang atau sekelompok orang cenderung mulai terganggu. Akibatnya muncul ketakutan, panik, histeria hingga kehilangan aspek rasionalitas dalam menghadapi situasi. “Sekelompok orang yang ada dalam situasi panik dan ketakutan akan memerlukan panduan komunikasi yang tepat dan bisa mengarahkan pada perilaku yang fokus untuk menyelamatkan mereka,” ujar Setio.
Selain itu komunikasi berguna sebagai wahana koordinasi antarpihak terkait serta mobilisasi massa baik untuk menghadapi bencana hingga membangkitkan solidaritas publik untuk peduli. Namun demikian menurut Setio pada praktiknya aspek komunikasi bencana masih problematik, terutama lantaran kurangnya aspek sensitivitas bencana. Aspek ini merupakan fondasi bagi pihak yang mengelola dan operator komunikasi untuk memperhatikan aspek psikologis, budaya dan sosiologis korban bencana.
Dalam konteks inilah khasanah jurnalisme bencana mendapatkan aktualisasinya. “Jurnalisme bencana tentu tidak hanya sekadar bagaimana meliput bencana, tetapi juga bagaimana pemberitaan tentang musibah tersebut dilaporkan secara proporsional dan tidak mendramatisasi,” ujar Fajar Iqbal MSi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang aktif sebagai pengurus pusat di Peace and Conflict Journalism Nerwork (Pecojon).
Fase Pemberitaan
Ia menambahkan bagian lain yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana kebijakan media dalam peliputan bencana. Sebab, pemberitaan media bukan hanya tanggung jawab reporter di lapangan. Tanggung jawab dan kepekaan menyeluruh dari media akan menghasilkan pemberitaan berkualitas. “Sebagai negara dengan potensi bencana relatif besar, pendidikan jurnalisme bencana sesungguhnya menjadi suatu keharusan. Sayangnya, hingga saat ini referensi, kajian, diskusi, penelitian serta substansi materi jurnalisme yang berkaitan dengan kebencanaan masih sangat langka,” papar dia
Terkait dengan liputan bencana, Iwan Awaludin Yusuf MSi, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) terdapat tiga fase pemberitaan yang seharusnya diperhatikan media, yakni prabencana, saat bencana terjadi, dan pascabencana. Jika diamati dari berbagai peristiwa bencana yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, baru pada fase ketiga yang diberikan perhatian penuh.
Iwan mengatakan jika dicermati satu demi satu, fase prabencana sebenarnya berlangsung sepanjang waktu. Muatan paling penting dalam kampanye berkelanjutan ini adalah pengingatan terus menerus bahwa masyarakat Indonesia hidup di negeri rawan bencana sehingga harus selalu waspada. Media harus menjadi bagian penting dalam early warning system.
Lebih lanjut, saat terjadi bencana (tanggap darurat), media harus menyediakan informasi dasar akurat tentang jenis dan sumber bencana serta cara-cara menyelamatkan diri. Dalam fase ini, media harus menjadi aktor utama yang meminimalisasi beredarnya isu-isu meresahkan. “Pada fase pascabencana, media harus menunjukkan komitmen kuat menuju rehabilitasi. Artinya, sejak memasuki fase ini – mulai dari tahap darurat, recovery dan rehabilitasi – media harus menanamkan visi mempercepat proses pemulihan psikologis, sosial dan ekonomi masyarakat yang tertimpa bencana,” papar dia.
Iwan mengatakan persoalan jurnalisme sensitif bencana juga bukan hanya menjadi tanggung jawab reporter di lapangan. Para editor serta pemilik media hendaknya memiliki koridor jelas tentang bagaimana peliputan terkait dengan bencana yang dilakukan wartawan mereka. Sayangnya kebanyakan media cenderung terjebak dengan tuntutan pasar semata. Sehingga menjadi cenderung berlebihan dalam berbagai macam laporannya.
 “Jika reportase semacam ini yang terus berkembang, dikhawatirkan media akan memberikan dampak negatif pada kurun waktu yang lebih panjang. Media pun akan jadi musuh bagi para korban bencana,” ujar Iqbal. (handoyo/rizqi/dhea/frida)
Kiriman: Tri Sugiarto (Semarang)

Posted in , , , , , , , , | Leave a comment

Profil Relawan PMI - Alm. H. TUTUR PRIYANTO


Banyak orang awam menilai, bahwa Relawan PMI identik dengan petugas pertolongan pertama (PP) di konser musik, pengawal gerak jalan atau beragam kegiatan olahraga, seni dan sebagainya yang memerlukan kehadiran sebuah ambulans beserta alat dan petugas di dalamnya. 
Pandangan ini tidak salah, tetapi sangat keliru. Realitanya, banyak tugas penting dan berisiko tinggi sampai yang "mempertaruhkan nyawa " bagi kehidupan manusia lain dilakukan oleh para Relawan PMI. Satu diantaranya terjadi pada H. Tutur Priyanto yang akrab disebut Den Tutur, seorang anggota TSR (Tenaga Suka Rela) PMI Kabupaten Bantul saat melakukan tugas evakuasi penduduk dusun Kinahrejo yang berada di sisi terdekat dari puncak Gunung Merapi. Tulisan yang disusun oleh Bapak Bambang Puspo, mantan Sekretaris PMI Cabang Bantul disajikan dengan lengkap beserta kronologi kejadian.
*****

Saat letusan Gunung Merapi 26 Oktober 2010, ia berhasil menyelamatkan puluhan warga Dusun Kinahrejo tetapi akhirnya gugur dalam usaha penyelamatan warga Kinahrejo untuk kedua kalinya.


  Kronologis gugurnya Tutur Priyanto :

Pada hari Kamis 21 Oktober 2010, Gunung Merapi dinyatakan  SIAGA Level III
Tutur Priyanto relawan PMI Bantul sudah mulai mempersiapkan rekan2nya relawan PMI Bantul untuk siaga menghadapi “krisis gunung Merapi”.  Ia sudah memasang perangkat radio komunikasi mendukung kesiagaan Posko PMI Kabupaten Sleman.
Ia sudah assessment kesiapan desa Kinahrejo dalam keadaan SIAGA Level III , juga berkoordinasi dengan rekan2 markas PMI Kab Sleman dan markas/posko PMI Kecamatan Pakem.
Pada hari Senin tanggal 25 Oktober 2010, Gunung Merapi dinyatakan AWAS Level IV yang harus diikuti dengan pengosongan/evakuasi masyarakat di Kawasan Rawan Bencana (KRB) 3 khususnya Kinahrejo sebagai Dusun tertinggi di lereng selatan Gunung Merapi.
Pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010, hari kedua status AWAS ternyata masyarakat dusun Kinahrejo termasuk Mbah Marijan belum melakukan evakuasi/mengungsi
Pada pukul 15.00 , Tutur Priyanto bersama  Bpk Agus Wiyarto berangkat dari Bantul menggunakan mobil minibus APV menuju Kinahrejo untuk membujuk dan menjemput mbah Marijan agar bersedia mengungsi turun gunung,  sedangkan mobil Hardtop SATGANA milik Tutur Priyanto ditinggal di Markas PMI Kab Bantul untuk digunakan relawan PMI Bantul berangkat pukul 18.00 dari Bantul. Dalam perjalanan ke Kinahrejo, bertemu dengan Yuniawan Wahyu Nugroho (Wawan) wartawan VivaNews dan diajak ikut serta satu mobil.
Tutur Priyanto sampai di Kinahrejo tepat bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi sehingga langsung melaksanakan tugas evakuasi.
Dengan menggunakan minibus APV dan minibus Avanza milik bapak Asih dimulailah evakuasi warga dengan mengisi penuh 2 mobil tersebut menuju barak pengungsian Umbulharjo. 
Pada pukul 17.02 ternyata gunung Merapi sudah mulai mengeluarkan awan panas .
Menurut data Vulkanologi BPPTK Yogyakarta :
Pukul  17.02  mulai  terjadi awanpanas selama 9 menit
Pukul  17.18  terjadi awanpanas selama  4          menit
Pukul  17.23  terjadi awanpanas selama  5          menit
Pukul  17.30  terjadi awanpanas selama  2          menit
Pukul  17.37  terjadi awanpanas selama  2          menit
Pukul 17.42 terjadi awanpanas besar selama 33 menit
Pada jam-jam berbahaya tersebut diatas Tutur Priyanto melaksanakan evakuasi warga dusun Kinahrejo turun gunung menjauh dari KRB 3 Merapi menuju barak pengungsian Umbulharjo.
Karena keterbatasan kendaraan dan banyaknya warga termasuk mbah Marijan masih tertinggal diatas dan harus segera diselamatkan, maka Tutur Priyanto bersama Wawan wartawan Viva News kembali bergerak keatas untuk kedua kalinya melaksanakan tugas evakuasi dusun Kinahrejo menggunakan minibus APV.
Pada pukul 18.10  Tutur Priyanto mengirimkan pesan “sms” terakhir kepada rekan2 Satgana PMI Bantul bahwa “Merapi telah meletus” diharap segera berangkat.
Pada saat itulah Gunung Merapi meletus dasyat mengeluarkan dentuman keras dan mengeluarkan awan panas langsung membakar dusun Kinahrejo .
Tutur Priyanto dan Wawan gugur bersama 26 orang warga Kinahrejo yang ditemukan tewas pada saat itu dan masih banyak korban yg belum ditemukan dibawah reruntuhan dan timbunan material Merapi.

Menurut data Vulkanologi BPPTK Yogyakarta :
Pukul  18.00 - 18.45  terdengar suara gemuruh dari Pos Merapi Jrakah dan Selo
Pukul  18.10, pukul 18.15, pukul 18.25    terdengar suara dentuman
Pukul  18.16  terjadi awanpanas  selama 5 menit
Pukul  18.21  terjadi awanpanas besar  selama 33 menit
 - Dari pos Pengamatan Gunung Merapi Selo terlihat nyala api dan kolom asap
              membubung ke atas  setinggi 1,5 km dari puncak .
Pukul  18.54   aktivitas awanpanas mulai mereda.

Demikian Kronologis gugurnya Tutur Priyanto Relawan PMI Bantul dalam tugas evakuasi Tanggap Darurat Merapi  2010  menggunakan mobil minibus APV.


Pembuat kronologis :
Bambang Puspo TSR PMI Bantul yang memonitor perjalanan Tutur Priyanto menuju Kinahrejo dan mulai kehilangan kontak pada pukul 18.10 wib.


Profil Kerelawanan

Nama                    :  Tutur Priyanto
Tempat/tgl lahir     :  Bantul , 22 Juni 1974
Alamat                  :  Kembaran, Desa Tamantirto,
   Kec Kasihan, Kab Bantul
Pendidikan terakhir          :  D3 Ekonomi
Istri                       :  Supriyati
Anak                      :      ---
Organisasi Kepemudaan yang diikuti :
1.    Menwa Mahakarta
2.    Komandan Banser NU Kec Kasihan Bantul
3.    Tenaga Sukarela (TSR) PMI Kab Bantul
Bergabung di PMI Bantul sejak April 2006 sd  gugur.
Pengalaman penugasan di PMI :
1.    Siaga Merapi April-Mei 2006.
2.    Tanggap Darurat sd Recovery Gempa Bantul  2006.
3.    Recovery Gempa Bantul selaku Koordinator Klinik Rehabilitasi Medik PMI.
4.    Tanggap Darurat Banjir Bengawan Solo Jateng dan Jatim, Desember 2007.
5.    Tanggap Darurat Gempa Tasikmalaya 7,3 SR di PMI Kabupaten Ciamis Jabar.
6.    Tanggap Darurat Gempa Darat 7,0 SR di PMI Kab Kerinci Jambi, Oktober 2009.
7.    Respon bencana skala lokal di Kabupaten Bantul  2006 – 2010.
8.    Gugur tgl 26 Oktober 2010 dalam Operasi Tanggap Darurat Erupsi Merapi 2010,
saat evakuasi warga di dusun Kinahrejo Sleman.


Posted in , , , , , , , , , , | Leave a comment

KAJIAN KRITIS TERHADAP KSB (Kampus Siaga Bencana)



Oleh : DM Edi S. (Relawan PMI Bali)

KAJIAN BERDASARKAN TULISAN Saudara Sassu Dahsyat ( salah satu contributor buku KSB) yang bercetak tebal dan miring.
Pedoman KSB disusun bukan untuk KSR, Bukan untuk Pedoman bagi PMI dalam merancang Kesiapsiagaan Bencana di Lingkungan Kampus

KSB disusun untuk memberikan gambaran kepada Pemegang kebijakan Kampus, untuk dijadikan referensi dalam melakukan upaya PRB di lingkungan kampus.
Permasalahannya adalah :
·         Kenapa pembuat buku tidak menyinggung KSR PT yang mungkin sudah ada di kampus. Untuk dijadikan kelompok kerja ( POKJA) liahat hal 25 dan 26 pada buku KSB.

ISI BUKU KSB hal 25 dan 26.
Komponen KSB, yang juga dapat disebut sebagai tim Kelompok Kerja
(Pokja) terdiri dari tim pengarah, tim pelaksana, dan dapat melibatkan mitra.
1.      Tim Pengarah KSB
Tim pengarah terdiri dari rektorat/dekanat dan dosen pendamping Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
2.      Tim Pelaksana KSB
Tim pelaksana KSB merupakan gabungan dari dosen dan mahasiswa

Usulan redaksi menurut saya sebaiknya  PMI ( pembuat buku) mau sekaligus memberdayakan peran KSR PMI PT di almamaternya sendiri ( bagi kampus yg sudah punya KSR )

Tim Pengarah KSB
Tim pengarah terdiri dari rektorat/dekanat dan dosen pendamping Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), KSR PMI PT ( bagi kampus yg sudah ada KSR) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),

Bahkan, Kampus yang tidak memiliki KSR pun dapat menjadikan buku ini sebagai pedoman.

·         Sangat sepakat bahwa buku ini juga dapat diaplikasikan dikampus yg belum punya KSR.

·         Namun…Apakah KSB ini tidak akan mengurangi usaha kampus( mahasiswanya ) yg belum punya KSR, untuk mendirikan UKM KSR PMI PT…justru mendirikan UKM KESIAPSIAGAAN BENCANA?


Jika Buku ini diadopsi oleh kampus yang belum ada KSR, di buku ini pada halaman 70 ada "Strategy Pelaksanaan KSB" pada point Pembinaan Sumber Daya Manusia,  
".. KSR adalah suatu unit kegiatan mahasiswa yang di- jadikan wahana untuk keberlanjutan KSB dengan memaksimalkan fungsi KSR sebagai organisasi kader dalam menerapkan upaya–upaya kesiap- siagaan dan PRB.." -- untuk merangsang Kampus membentuk KSR
( point diatas sebenarnya hanya penegasan PMI bahwa KSR adalah {Salah satu sumber daya yang dibina oleh PMI di perguruan tinggi adalah Korps Sukarela (KSR). KSR adalah suatu unit kegiatan mahasiswa yang dijadikan wahana untuk keberlanjutan KSB dengan memaksimalkan fungsi KSR sebagai organisasi kader dalam menerapkan upaya–upaya kesiapsiagaan} dan PRB.

·         NAH…justru itu kenapa PMI tidak memberdayakan dan mendudukan KSR PMI PT sebagai TEAM PENGARAH dalam KSB.

yang sudah ada KSR bagaimana?

Sesuai dengan sambutan Bapak Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia Ketua Bidang Relawan, H. Muhammad Muas, SH

Bagi Kampus yang sudah ada KSR, KSR diharakan BISA menjadi Inisiator, ".... sebagai pintu masuk dan juga sebagai pengerak, pendorong kegiatan pengurangan risiko bencana di kampus..."

·         Nah ini lebih lucu lagi….sebelum dikeluarkannya BUKU KSB-pun KSR PMI PT telah menjadi Inisiator, ".... sebagai pintu masuk dan juga sebagai pengerak, pendorong kegiatan pengurangan risiko bencana di kampus..." contohnya ya, kita semua udah tahu dan hafal deh.

Salam pembaharuan……
Sumber: File Voltage dengan judul dan penulis yang sama

Posted in , , , , , , | Leave a comment

Kenangan Malam Pertama Gempa DIY - Bagian I



Gempa bumi di wilayah D.i Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 5,9SR 27 Mei 2006 adalah peristiwa terbesar kedua setelah Tsunami Aceh 24 Desember 2004. Bagi relawan PMI yang pernah ikut serta dalam penanganan di Aceh, peristiwa di Jogja khususnya di Markas Cabang PMI Bantul punya kesan tersendiri. Selain dianggap lebih rapi sisi manajerialnya, para relawan khususnya Tenaga Suka Rela (TSR) PMI yang bertugas di sana lebih dari sekali mengenal saya sebagai komandan lapangan yang galak, tukang ngopi dan ngorok serta sejumlah tukang lainnya. Karena itu, mereka menggagas sebuah reuni kecil bagi para mantan relawan yang aktif di media sosial (Voltage=Volunteer of the New Age) di Bantul pada 25-26 Mei 2013. Tulisan berseri ini sekadar kenangan tanpa pretensi apapun. Semoga manfaat.

*****

Menjadi relawan kemanusiaan di berbagai bencana alam maupun kemanusiaan adalah panggilan jiwa. Bukan karena surat tugas atau beragam formalitas lainnya. Norma, etika dan kapasitas pribadi menguatkan dorongan naluriah itu. Sikap ini acapkali menimbulkan salah paham dengan orang-orang kantoran yang biasanya hanya tahu hal-hal formal dan menunggu instruksi. Karena itu, pengalaman di masa lalu, para relawan “non formal” yang sering disebut sebagai Tenaga Suka Rela (TSR) dan berasal dari kalangan profesional di PMI sering mengalami perlakuan diskriminatif dari staf maupun pengurus PMI yang kebanyakan diisi oleh para pejabat lokal.  Sehingga, para relawan profesional yang menyumbangkan tenaga, pikiran, kemampuan pribadi dan akses sering merasa terasing di rumah sendiri.

Gempa DIY dan Jateng pada 27 Mei 2006 adalah sebuah momentum penting dalam proses perjalanan kerelawanan TSR. Ketika semua tengah bersiaga mengantisipasi erupsi Gunung Merapi, gempa yang berkekuatan 5,9SR itu mengagetkan semua orang. Pada saat kejadian, saya baru “turun gunung” sekitar 20 jam dari lokasi TPA  (Tempat Pengungsian Aman) Erupsi Gunung Merapi Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Dari kontak telepon selular, saya mendapat kepastian bahwa letusan itu bukan dari Gunung Merapi. Sambil memantau perkembangan di televisi, saya coba melakukan kontak telepon PSTN ke Markas Cabang PMI Bantul setelah mendapat informasi bahwa kejadian itu berasal dari gempa di pesisir Jogja. Petrus yang menerima kontak, meminta bantuan obat, ambulan dan relawan segera. Saat itu jam 06.30-an dan tak ada kontak lagi karena semua jaringan telepon maupun radio komunikasi 2 m-an yang frekuensinya dipinjami secara gratis oleh Lanal (Landasan Angkatan Laut) Jogja lewat Pak Suryadi juga terputus.  Sebagai rasa solidaritas dan tanggungjawab kemanusiaan, saya laporkan isi kontak terakhir itu ke Markas Cabang PMI Kebumen.

Menunggu jawaban dari laporan ke institusi PMI perlu waktu tidak sedikit. Sayapun mengambil inisiatif menghubungi beberapa teman yang punya informasi seperti permintaan Petrus. Sekitar jam 9 pagi, kami berhasil mengumpulkan sejumlah obat dan dua sepeda motor trail beserta pengemudinya. Keduanya tak punya bekal penanganan darurat dan pertolongan pertama. Tapi mereka sanggup melaksanakan tugas. Setelah berdiskusi sebentar dengan beberapa TSR Kebumen yang cukup paham jalur-jalur tikus ke arah Bantul, mereka berdua kami berangkatkan dengan satu pesan. “Apapun yang terjadi di jalan, prioritaskan ke Markas Cabang PMI Bantul dan temui Petrus atau orang-orang yang ada di dalam daftar" yang kami sertakan.

Rombongan relawan PMI Cab Kebumen berjumlah 8 orang, diberangkatkan dengan satu mobil ambulans yang membawa peralatan dapur umum dan pertolongan pertama (first aid kit) dilepas oleh Ketua Bidang Humas yang juga seorang wartawan koran Suara Merdeka, Sdr, K. Wardopo (sekarang Ketua PMI Kab. Kebumen) dengan upacara sangat sederhana jam 13.00 WIB. Perjalanan sampai ke perbatasan Kab. Purworejo relatif lancar. Setelah itu tersendat sampai ke Macab PMI Bantul sekitar jam 17.00 WIB dan melaporkan kedatangan. Di sana sudah ada Pak Bambang Puspo yang menjabat Sekretaris PMI Kab. Bantul dan telah saling mengenal dengan kami. Setelah berdiskusi kecil, kami dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok berjumlah 6 orang menyiapkan tenda-tenda pengungsian. Saya dan M. Kamal (sekarang Kepala Markas PMI Cabang Bantul) membantu kesekretariatan.

Tugas pertama adalah memberi penjelasan kepada seseorang yang mengaku sebagai wakil sebuah parpol di Kab. Bantul. Dia merasa sebagai wakil rakyat “berhak” mendapat prioritas. Saya paham tugas ini sulit dilakukan oleh teman-teman dari Bantul. Akhirnya, setelah saya jelaskan posisi PMI dalam situasi darurat mengutamakan korban hidup dan tidak ada kaitan dengan kepentingan politik maupun pemerintah, maka pilihan terakhir adalah mengusir ! Dengan nada keras dan tegas saya katakan. “ Jika anda memaksa, mohon maaf..anda harus keluar dari ruangan ini dengan atau tanpa paksaan. Kami diperbolehkan melakukannya…dan lihat yang ada di lapangan belakang san (sambil menunjuk arah RS Darurat di Lapangan Dwi Windu) ..!!! Mereka yang harus segera kami bantu, bukan anda…!”.  Setelah orang itu keluar dengan cara paksa, Sekretariat saya minta ditutup sementara untuk menyiapkan ruang dan alat.

Ada peristiwa yang tak mungkin dapat saya lupakan di hari pertama kejadian. Ketika dititipi sejumlah tenda dan peralatan yang masih tebungkus rapi dalam kotak kayu dan plastik bertuliskan Japan Red Cross, datang dua orang yang mengenakan atribut Japan Red Cross  meminta saya untuk menyerahkan barang-barang tadi. Saya ngotot minta surat tugas mereka. Merekapun tak kalah “garang”. Akhirnya saya bilang, “Silakan anda bawa dokter Indonesia yang anda kenal ke sini. Saya tunggu !!!”, mereka berlalu sambil menggerutu dalam bahasa Jepang. Selang seperempat jam kemudian, mereka mengajak doker Agus Zuliyanto dari PMI Banyumas yang oleh teman-teman dijuluki dogil (doker gila, karena kelakukannya memang gila-gilaan ). Setelah doker Agus meminta, saya melepas barang tersebut dengan permintaan maaf. Mereka paham dan kami saling berpelukan. Dalam hati saya bilang. “ rasain …  enak amat  ngaku-ngaku milikmu dan menganggap semua orang Indonesia gampangan..? Enak aja……..buktikan dunk!”, sambil menahan tawa, saya berlalu.

Ki-ka: dr. Agus-dr. Seno-dr. (?) Kepala RS Darurat PMI dan stafnya

Hari mulai gelap. Satu-satunya genset yang ada dan bisa dipakai telah dibawa ke Rumah Sakit Darurat di Lapangan Dwi Windu belakang markas. Di sana ada dua orang tenaga medis yang tengah menangani luka serius pasien korban gempa. Kaki kanan dan lengan kirinya remuk. Entah yang ke berapa, pasien itu meraung kesakitan. Saya tanyakan kepada perawat yang mendampingi. Katanya tim medis kehabisan bius dan pasien yang harus ditangani tambah terus. Ini pasien ke 30 yang ditangani satu dokter dan asistennya dari Jogja. Mereka berdua berasal dari sebuah klinik swasta yang bangunannya hancur akibat gempa. Semua pasien dan tenaga medis diungsikan di RS Darurat PMI ini. Kelelahan nampak sekali di wajah kedua tenaga medis itu. Terutama sang dokter yang usianya sekitar 40an tahun. Ia adalah dokter pertama yang memprakarsai pendirian RS Darurat yang mulai beroperasi sejak siang hari dengan tempat seadanya. Ruang operasi adalah sebuah tenda seng (tarub/terop) yang semula akan dipakai untuk tribun kehormatan turnamen sepak bola se Kab. Bantul pada esok hari, 28 Mei 2006. Meja operasinya adalah deretan meja belajar yang dipinjam dari sebuah SD di Selatan lapangan bola itu. Hanya dilandasi karpet dan ruang itu juga dibatasi dengan karpet yang berbeda ketebalannya. Sumber Berita dan Penulis Toto Karyanto.

Posted in , , , | 2 Comments

Kopi Merapi Siap Meriahkan Temu Karya Nasional 2013

Kopi Khas Merapi (Coffe Vulcano Merapi)

Rabu siang 29 Mei 2013 saya bersama Pak Sarjuni dari PMI Cabang Sleman serta beberapa kawan relawan dari PMI Sumatera Selatan dan Bengkulu, meluncur ke arah lereng Merapi guna melihat sejauh mana dampak letusan gunung berapi yang sangat aktif di Pulau Jawa ini.

Terkait dari merapi dan Temu Karya Nasional di Selorejo Malang 23-30 Juni 2013 nanti, komunitas Voltage (Relawan PMI Masa Depan) akan menggelar sebuah booth atau lapak guna memperkenalkan berbagai kopi dari penjuru tanah air. Para relawan yang hadir entah itu peserta maupun panitia bisa turut serta menikmati kopi dengan cita rasa yang bisa bikin mata melek.

Mr. Sipke de Schiffart, Mbah Parto dan Mr. George

Sebagian besar dari kita tentu belum mengenal kopi dari Merapi, yang merupakan sebuah komoditas kopi khas dari perbukitan di lereng Merapi ini dengan cita rasa yang begitu menantang dan tersedia dalam varian original, robusta dan jahe instant Merapi. Kopi Merapi pertama kali diciptakan oleh Mbah Parto dan telah diteliti oleh dua orang dari Belanda yakni Mr. Sipke de Schiffart (Ahli tester kopi dunia) dan Mr. George (Ahli Pertanian Organik).

Kopi Merapi Original

Kopi Merapi Robusta dan Kopi Merapi Jahe
 
Kopi Merapi bersama Bangmisno

Sobat relawan tampaknya belum lengkap bila tak menikmati kopi organik dari lereng gunung Merapi ini, dan tentu saja sobat relawan PMI bisa mendapatkannya di kedai kopi Voltage saat Temu Karya Nasional di Selorejo Malang 23-30 Mei 2013 nanti.

Posted in , , | Leave a comment

Paradigma Seorang Relawan


Tri Sugiarto

Oleh : Tri Sugiarto (Relawan PMI Semarang)

Kata relawan dan kiprah kegiatan sejatinya sudah biasa menghiasi telinga kita. Ini ditandai dengan pemberitaan besar-besaran tentang relawan saat bencana tsunami Aceh 2006 lalu. Alhasil saat ini setiap kali ada bencana maka disitu ada banyak relawan yang dengan gigih membantu para korban. Mulai dari evakuasi, distribusi bantuan, pelayanan kesehatan sampai kepada penyediaan rumah tinggal untuk para korban bencana.

Dari kebiasaan tersebut menjadi sebuah pengertian yang tidak tertulis bahwa arti dan fungsi menjadi seorang relawan adalah menjadi tenaga sukarela yang terjun dan siap membantu para korban saat bencana melanda. Dan disaat-saat seperti itulah kita dan mayoritas orang akan terpanggil jiwanya untuk menjadi seorang relawan.
Lantas pertanyaannya, apakah setelah bencana selesai tanggap darurat atau selesai masa recovery , tugas menjadi seorang relawan terhenti? Atau pengakuan bahwa kita menjadi seorang relawan yang gagah dan peduli juga sudah selesai?

Tentu “tidak”. Kita sepakat akan jawaban itu.

Terus apa yang akan kita lakukan setelah para korban kembali menjalani aktivitas harian seperti biasa saat sebelum terjadi bencana. Apakah kita hanya mengunggu dan “berharap” ada tugas baru lagi karena ada bencana ditempat lain?

Sekali lagi kita akan sepakat bilang TIDAK.

Ya, menjadi seorang relawan tidak pernah berhenti untuk peduli, berhenti dari rasa keterpanggilan, berhenti dari rasa ingin berbuat dan berhenti dari tugas-tugas kemanusiaan. Seorang relawan akan selalu peka terhadap keadaan dan mencari cara agar dia selalu bisa berbuat untuk memperbaiki sesuatu hal.

Tugas dan peran penting seorang relawan tidak hanya dibutuhkan pada saat terjadi bencana. Seorang relawan selalu mewajibka dan membiasakan dirinya untuk selalu bisa berbuat demi sebuah kebaikan. Dia tidak pernah terpaku pada kebiasaan orang lain yang selalu menyerah terhadap keadaan dan pasrah mengikuti arus, karena itu bertentangan dengan hati.

Foto asli  : http://www.rpmi107.com/
Banyak hal yang bisa dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya menjadi seorang relawan. Dan menjadi kebiasaan dalam hidupnya, dengan  ada dan tidaknya bencana atau dengan ada dan tidaknya masalah kesenjangan yang ada, relawan selalu mengisi hari-harinya dengan kebaikan. Mulai dari mencegah sesuatu agar tidak berdampak kepada sebuah keburukan bagi kehidupan. Seperti terbiasa menghemat air, mematikan lampu listrik, membuang sampah pada tempatnya, mematuhi peraturan lalu lintas dan lainnya.

Dalam kerja-kerja kerelawanan lain yang lebih besar dan lebih panjang jangka waktu manfaatnya. Kegiatan relawan bisa dilakukan bersama-sama seperti membersihkan lingkungan rumah, membersihkan bantaran kali, membuat lubang biopori (penyerapan air), menanam pohon, mengajar baca tulis bagi anak marginal, mengajar baca bagi ibu-ibu, memberikan penyuluhan kesehatan, membuat peta mitigasi (pencegahan) bencana, memberikan training penanggulangan bencana, memberikan training kesiapsiagaan bencana dan masih banyak lagi kegiatan atau pekerjaan bernilai social dan bisa memberi dampak yang sangat luar biasa dimasa mendatang.

Mereka yang sejatinya mengaku menjadi seorang relawan akan memberi suasana baru dalam kehidupan bermasyarakat. Suasana yang lebih kepada arah kenyamanan dan ketenangan. Tak pernah bisa diam ketika ada peluang untuk berbagi dan peduli memberikan manfaat kepada orang lain. Berbuat dan bersikap layaknya seorang relawan yang terus menebar manfaat kapan saja dan dimana saja.

Paradigma seorang relawan yang berkembang di masyarakat diharapkan berubah dari mereka yang selalu terjun dan akan terjun hanya saat bencana, beralih kepada seorang yang siap memberikan kontribusi dan manfaatnya kepada lingkungan sekitar kapan saja dan dimana saja. Dan jadi relawan tentu menjadi hak siapa saja. Termasuk anda.....

(copas dari catatan seorang rekan relawan)

Posted in , , , | 3 Comments

7 Tahun Gempa Yogya - Bagian I (Prolog)

Kedatangan Relawan PMI dari berbagai wilayah/ komponen masyarakat
Disusun oleh : Nova Wijaya, Relawan PMI Kab. Bojonegoro

27 Mei 2006, gempa bumi berkekuatan 5,9 SR terjadi di Yogya pk 05.55 WIB selama 57 detik. USGS mencatat kekuatan sebesar 6,2 SR. BMKG mencatat,gempa susulan terjadi beberapa kali, pukul 06:10 WIB, 08:15 WIB dan 11:22 WIB. Banyak sarana publik,perkantoran,dan rumah warga yang rubuh. Akses transportasi, listrik, dan komunikasi terputus.  Bandara Adi Sutjipto ditutup karen gangguan komunikasi dan kerusakan landasan pacu. Sehingga untuk sementara transportasi udara dialihkan ke Bandara Achmad Yani Semarang dan Bandara Adisumarmo Solo. 


PMI memberikan respon cepat melalui PMI kota/kabupaten terdekat dengan lokasi terdampak gempa. Salah satunya dengan mendirikan Rumah Sakit Lapangan di Lapangan Dwi Windu di Bantul. PMI juga mengirimkan sebanyak 2.500 kantung darah untuk bantuan kebutuhan darah para korban luka Rumah Sakit Lapangan Dwi Windu, Bantul awalnya adalah Pos Darurat Kesehatan di dekat PMI Bantul. Karena kebutuhan cukup tinggi, lalu dikembangkan PMI menjadi Klinik Lapangan.
Klinik Lapangan dibangun di lapangan tenis Dwi Windu atas prakarsa 5 org dokter,1 perawat,dan 1 org personil Humas PMI. Kelima dokter PMI itu adalah : dr.Slamet (Bantul), dr.Agus Zuliyanto (Banyumas), dr.Esti Nigtyas (Banjarnegara), dr.Tri Wahyudi dan dr.Seno Suharyo (Surabaya). Dibantu oleh Sentot Sugiyarto (perawat) dan Wisnu Wardana (Humas) dari PMI Banjarnegara.

Cerita dr.Seno S: "Waktu itu banyak sekali korban luka. Dalam sehari kami membantu ratusan orang.Klinik Lapangan PMI didirikan dengan tenda darurat, perlengkapan dan obat-obatan dari hasil sumbangan dari apotek2 serta stok PMI Bantul.
Minggu I, bantuan tenaga medis datang dari Singapore Red Cross, mahasiswa keperawatan dan Univ. Muhammadiyah Malang. Tujuh orang mahasiswa Univ. Sanata Dharma Jogja juga menjadi relawan tenaga medis yang membawa bantuan obat-obatan untuk Klinik Lapangan PMI. Waktu itu,bantuan tenaga medis dan obat-obatan datang dari Fakultas Farmasi Univ.Sanatadharma.

Klinik Lapangan PMI ini kemudian berubah dan dikembangkan menjadi Rumah Sakit Lapangan PMI di Lapangan Dwi WIndu, Bantul. Dibuka selama 1,5 bulan selama respon darurat bencana.  Selama operasionalnya, Rumah Sakit Lapangan PMI mendapat banyak bantuan tenaga medis dari PMI berbagai wilayah di luar Yogya.  Bantuan ribuan kantong darah dikirimkan ke Yogya, Semarang, dan Solo. Karena  RS di Yogya dan sekitarnya penuh akibat melonjaknya jumlah pasien korban gempa. Akhirnya pasien harus disebar ke Semarang atau Solo.
PMI mengirimkan 2.500 kantong darah untuk korban luka sesuai data kebutuhan yang diperoleh Unit Donor Darah PMI Pusat. Data kebutuhan darah: Yogya = 200 - 250 kantong darah/hari, Bantul 30 - 50 kantong darah/ hari, Gunung Kidul 20-30kantong darah/ hari dan Klaten 30-50 kantong darah/hari.

Selain membantu korban luka akibat gempa, PMI juga membantu kebutuhan air bersih bagi para pengungsi. Bantuan logistik PMI berupa: family kit, hygiene kit, baby kit, makanan dan minuman juga didistribusikan para relawan PMI. Ratusan relawan PMI spesialis psikososial, membantu pemulihan trauma pasca bencana kepada warga dan anak-anak di Yogya.

Posted in , , , , , , , , , , | 2 Comments Lokasi:Indonesia Bantul, Indonesia